Senin, 20 Mei 2013

IBU


 Suatu hari seorang bayi siap untuk dilahirkan. Dia bertanya kepada Tuhan: Para Malaikat disini mengatakan bahwa besok Engkau akan mengirimku ke Dunia,tetapi bagaimana cara saya hidup disana, saya begitu kecil dan lemah.Dan tuhan menjawab,"saya telah memilih satu malaikat untukmu.Ia akan menjaga dan mengasihimu." Tapi disini, didalam surga, apa yang pernah saya lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa. ini sudah cukup bagi saya untuk berbahagia."Malaikat akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya dan menjadi lebih berbahagia."
Dan bagaimana saya bisa mengerti saat-saat orang berbicara kepadaku jika saya tidak mengerti bahasa mereka. "Malaikat akan berbicara kepadamu dengan bahasa yang paling indah yang pernah kamu dengar; dan dengan penuh kesabaran dan perhatian, dia kan mengajarkan bagaimana kamu berbicara." Dan apa yang saya akan lakukan saat saya ingin berbicara kepadaMu."Malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa."
Saya mendengar bahwa di Bumi banyak orang jahat. Siapa yang akan melindungi saya ?? "malaikat akan melindungimu, walaupun hal tersebut mungkin dapat mengancam jiwanya." Tapi, saya pasti akan merasa sedih karena tidak melihatMu lagi. "Malaikatmu akan menceritakan kepadamu tentang Saya,dan akan mengajarkan bagaimana agar kamu bisa kembali kepadaKu, walaupun sesungguhnya Aku akan selalu berada di sisimu."
Saat Surga begitu tenangnya sehingga suara Bumi dapat terdengar dan sang anak bertanya perlahan : Tuhan jika saya harus pergi sekarang, bisakah aku tahu nama Malaikat tersebut? "Kamu akan memanggil Malaikatmu, “IBU Saya hanya ingin bertutur tentang seorang sahabatsaya.Sebut saja Rani namanya.
Semasa kuliah ia tergolong berotakcemerlang dan memilikiidealisme yang  tinggi. Sejak awal, sikap dan konsep dirinya sudah jelas : meraih yang terbaik, baik itu dalam bidang akademis maupun bidang profesi yang akan digelutinya. Ketika Universitas mengirim kami untuk mempelajar Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, di negerinya bunga tulip,beruntung Rani terus melangkah. Sementara saya, lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran dan berpisah dengan seluk beluk hukum dan perundangan.  Beruntung pula, Rani mendapat pendamping yang "setara " dengan dirinya,sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
            Alifya, buah cinta mereka lahir ketika Rani baru saja diangkat sebagai staf Diplomat bertepatan dengan tuntasnya suami Rani meraih PhD. Konon nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah "alif" dan huruf terakhir "ya", jadilah nama yang enak didengar : Alifya. Tentunya filosofi yang mendasari pemilihan nama ini seindah namanya pula. Ketika Alif, panggilan untuk puteranya itu berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila saja. Frekuensi terbang dari satu kota ke kota lain dan dari satu negara ke negara lain makin meninggi.
            Saya pernah bertanya , "Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal ?"Dengan sigap Rani menjawab: " Saya sudah mempersiapkan segala sesuatunya       Everything is ok." Dan itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya walaupun lebih banyak dilimpahkan ke baby sitter betul-betul mengagumkan. Alif tumbuh menjadi anak yang lincah, cerdas dan pengertian. Kakek neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu tentang ibu-bapaknya. " Contohlah ayah-bunda Alif kalau Alif besar nanti." Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani bertutur disela-sela dongeng menjelang tidurnya. Tidak salah memang. Siapa yang tidak ingin memiliki anak atau cucu yang berhasil dalam bidang akademis dan pekerjaannya. Ketika Alif berusia 3
 tahun, Rani bercerita kalau Alif minta adik. Waktu itu Ia dan suaminya menjelaskan dengan penuh kasih-sayang bahwa kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini "dapat memahami" orang tuanya.Mengagumkan memang. Alif bukan tipe anak yang suka merengek. Kalau kedua orang tuanya pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Kisah Rani, Alif selalu menyambutnya dengan penuh kebahagiaan. Rani bahkan menyebutnya malaikat kecil. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orang tua sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam hati kecil saya menginginkan anak seperti Alif.
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor,entah mengapa Alif menolak dimandikan baby-sitternya. " Alif ingin bunda mandikan." Ujarnya.  Karuansaja Rani yang dari detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, menjadigusar. Tak urung suaminya turut membujuk agar Alif mau mandi dengan tanteMien, baby sitternya. Persitiwa ini berulang sampai hampir sepekan," Bunda,mandikan Alif " begitu setiap pagi. Rani dan suaminya berpikir, mungkin karena Alif sedang dalam masa peralihan ke masa sekolah jadinya agak minta perhatian.
Suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sangbaby sitter. " Bu dokter,Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang diEmergency". Setengah terbang, sayapun ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain.Alif, si Malaikat kecil keburu dipanggil pemiliknya.Rani, bundanya tercinta, yang ketika diberi tahu sedang meresmikan kantor barunya,shockberat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikananaknya. Dan itu memang ia lakukan, meski setelahtubuh si kecil terbaring kaku. " Ini bunda, Lif. Bunda mandikan Alif." Ucapnya lirih, namun teramatpedih.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil,kami masih berdiri mematung. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu berkata, " Ini sudahtakdir, iya kan ? Aku di sebelahnya ataupun diseberang lautan, kalau sudah saatnya, dia pergi juga kan ? ". Saya diam saja mendengarkan. " Inikonsekuensi dari sebuah pilihan." lanjutnya lagi,tetap tegar dan kuat.Hening sejenak. Angin senja berbaur aroma kamboja.Tiba-tiba Rani tertunduk. " Aku ibunya !" serunya kemudian, "Bangunlah Lif.Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan bunda sekali lagi saja, Lif".Rintihan itu begitu menyayat.
Detik berikutnya ia bersimpuh sambil mengais-kais tanah merah Sekali lagi, saya tidak ingin membahas perbedaan sudut pandang pembagian tugas suami-isteri. Hanya saja, sekiranya si kecil kita juga bergelayut :" Mandikan aku,Bunda ." Akankah kita menolak ? Ataukah menunggu sampai terlambat ?



Tidak ada komentar: